a.
Tarekat
Naqsyabandiyah
Naqsyabandiyah merupakan salah satu tarekat sufi yang paling luas
penyebaran nya, dan terdapat banyak di wilayah Asia Muslim (meskipun sedikit di
antara orang-orang Arab) serta Turki, Bosnia-Herzegovina, dan wilayah Volga
Ural. Bermula di Bukhara pada akhir abad ke-14, Naqsyabandiyah mulai menyebar
ke daerah-daerah tetangga dunia Muslim dalam waktu seratus tahun. Perluasannya
mendapat dorongan baru dengan munculnya cabang Mujaddidiyah, dinamai menurut
nama Syekh Ahmad Sirhindi Mujaddidi Alf-i Tsani (”Pembaru Milenium kedua”, w.
1624). Pada akhir abad ke-18, nama ini hampir sinonim dengan tarekat tersebut
di seluruh Asia Selatan, wilayah Utsmaniyah, dan sebagian besar Asia Tengah.
Ciri yang menonjol dari Tarekat Naqsyabandiyah adalah diikutinya syari’at
secara ketat, keseriusan dalam beribadah menyebabkan penolakan terhadap musik
dan tari, serta lebih mengutamakan berdzikir dalam hati, dan kecenderungannya
semakin kuat ke arah keterlibatan dalam politik (meskipun tidak konsisten).
b. Sejarah
Kebanyakan orang
Naqsyabandiyah Mujaddidiyah dalam dua abad ini menelusuri keturunan awal mereka
melalui Ghulam Ali (Syekh Abdullah Dihlavi [m. 1824]), karena pada awal abad
ke-19 India adalah pusat organisasi dan intelektual utama dari tarekat ini.
Khanaqah (pondok) milik Ghulam Ali di Delhi menarik pengikut tidak hanya dari
seluruh India, tetapi juga dari Timur Tengah dan Asia Tengah. Hingga kini
Khanaqah masih tetap (pernah mengalami masa tidak aktif akibat perampasan Delhi
oleh orang Inggris pada tahun 1857). Namun fungsi Pan-Islami-nya sebagian besar
diwarisi oleh para wakil dan pengganti Ghulam Ali yang menetap di tempat-tempat
lain di Dunia Muslim. Yang terpenting adalah para syekh yang tinggal di Makkah
dan Madinah: kedua kota suci ini menyebarkan Tarekat Naqsyabandiyah di banyak
tanah Muslim sampai terjadinya penaklukan Hijaz oleh kaum Wahabiyah pada 1925,
yang mengakibatkan dilarangnya seluruh aktivitas sufi. Demikianlah, Muhammad
Jan Al-Makki (w. 1852), wakil Ghulam Ali di Makkah, menerima banyak peziarah
Turki dan Basykir, yang kemudian mendirikan cabang-cabang baru Naqsyabandiyah
di kampung halamannya. Pengganti Ghulam Ali yang pertama di Khanaqah Delhi, Abi
Sa’id, melewatkan beberapa waktu di Hijaz untuk menerima pengikut baru. Anak
dan pengganti Abu Sa’id, Syekh Ahmad Sa’id, memilih tinggal di Madinah setelah
suatu peristiwa besar pada tahun 1857, memindahkan arah Naqsyahbandiyah India
ke Hijaz untuk sementara. Ketiga putra Ahmad Sa’id sama-sama memperoleh
warisannya: dua orang pergi ke Mekkah dan menarik pengikut dari India serta
Turki di sana. Sementara yang ketiga, Muhammad Mazhhar, tetap di Madinah dan
mengelola pengikut yang terdiri dari ulama dan pengikut dari India, Turki
Daghestan, Kazan, dan Asia Tengah. Namun, yang paling penting dari pengikut
Muhammad Mazhhar adalah seorang Arab, Muhammad Salih al-Zawawi dan
murid-muridnya yang tidak merasakan kebencian, yang umumnya ditujukan kepada
Ulama Pribumi terhadap orang-orang non Arab dalam masyarakat mereka.
Sebagai guru
fiqih Syafi’i, dia memiliki akses khusus terhadap orang-orang Indonesia dan
orang-orang Melayu yang berkumpul di Hijaz, serta berkat al-Zawawi dan
murid-muridnyalah Naqsyabandiyah dikenal secara serius di Asia Tenggara. Di
Pontianak di pantai barat Kalimantan, masih terdapat berbagai jejak garis
Naqsyabandiyah yang terpancar dari Hijaz ini.
Dorongan yang
membawa Naqsyabandiyah ke zaman modern berasal dari pengganti Ghulam Ali yang
lainnya. Maulana Khalid al-Bagdhadi (w. 1827). Beliau mempunyai peranan yang
penting di dalam perkembangan tarekat ini sehinga keturunan dari para
pengikutnya dikenal sebagai kaum Khalidiyah, dan dia kadang-kadang dipandang
sebagai “Pemburu” (Mujaddid) Islam pada abad ke-13, sebagaimana Srihindi
dipandang sebagai pemburu Milenium kedua. Khalidiyah tidak terlalu berbeda
dengan para leluhurnya Mujaddidiyah. Yang baru adalah usaha Maulana Khalid
untuk menciptakan tarekat yang terpusat dan disiplin, terfokus pada dirinya
pribadi, dengan cara ibadah yang disebut Rabithah (”petautan”) atau konsentrasi
pada citra Maulana Khalid sebelum berdzikir. Usaha ini selanjutnya terkait
dengan sikap politik, aktivitas, yang bertujuan untuk mengamankan supremasi
syari’at dalam masyarakat Muslim dan menolak agresi Eropa. Setelah kematian
Maulana Khalid, tidak ada kepemimpinan yang terpusat, tetapi sikap politik yang
mendasari upaya tersebut tetap hidup.
Lahir di Distrik
Syahrazur di Kurdistan Selatan pata 1776, Maulana Khalid melewatkan waktu
sekitar satu tahun bersama Ghulam Ali di Delhi sebelum kembali ke kampung
halamannya pada 1881 dengan “wewenang lengkap dan mutlak” sebagai wakilnya.
Sebelum meninggalkan Delhi, Maulana Khalid memberi tahu gurunya bahwa tujuan
utamanya adalah untuk “mencari dunia ini demi agama”, dari tiga tempat
tinggalnya setelah itu Sulaimaniyah, Bagdad dan Damaskus, beliau mendirikan
jaringan 116 wakil, yang masing-masing dengan tanggung jawab yang jelas batas
geografisnya. Murid-muridnya mencakup tidak hanya anggota-anggota hierarki
agama pemerintahan “Utsmaniyah”, tetapi juga sejumlah gubernur provinsi dan
tokoh militer yang sangat penting dalam memajukan wibawa Khalidiyah adalah
wakil kedua Maulana Khalid di Istambul, Abdul al-Wahhab al-Susi, yang merekrut
Makkizada Musthafa Asim, syekh al-Islam masa itu ke dalam tarekat ini. Usaha
untuk meraih pengaruh atas kebijakan Utsmaniyah yang disiratkan oleh berbagai
upaya ini tidak pernah benar-benar berhasil.
Namun, terjadi semacam
penyejajaran antara Khalidiyah dengan negara Utsmaniyah pada masa pemeritahan
Abdulhamid II, yang berteman dengan Khalidiyah terkemuka di Istambul, Ahmed
Ziyauddin Gumushanevi (w. 1893). Kepentingan Gumushanevi jauh mentransendenkan
yang politis: tulisannya yang dimiliki banyak mengenai sufisme pada umumnya dan
Naqsyabandiyah pada khususnya, mewakili puncak sastra sufi Utsmaniyah besar
yang terakhir. Sebaliknya, Adbulhamid sangat ditentang oleh Syekh
Naqsyabandiyah yang menonjol lainnya, Muhamad As’ad dari Ibril wilayah Irak
Utara.
Pengaruh Maulana
Khalid mungkin paling nampak di kampung halamannya, Kurdistan. Cabang
Naqsyabandiyah yang beliau perkenalkan di sana sepenuhnya memudarkan pengaruh
“Qadiriyah”, yang sebelumnya merupakan tarekat paling menonjol di wilayah
Kurdistan, dan memunculkan sejumlah keluarga sebagai pemimpin turunan tarekat
itu, serta memegang kepemimpinan dalam urusan negara Kurdistan. Hubungan
keturunan Naqsyabandiyah dengan separatisme Kurdistan, dan kemudian nasionalisme,
pertama kali terlihat dalam pemberontakan besar Kurdistan 1880 yang dipimpim
oleh Ubaidillah dari Syamdinan, yang berhasil membebaskan diri, untuk
sementara, sebagian besar orang Kurdistan Iran dari kendali Iran. Keluarga
Barzani juga mampu mendominasi ungkapan nasionalisme Irak selama beberapa puluh
tahun melalui wibawa Naqsabandiyah yang diwarisinya.
Khalidiyah juga
mengakar dengan cepat dan tepat di Daghestan, wilayah pegunungan yang terletak
di pertemuan Kaukasus dan Rusia Selatan.
Wilayah ini
pertama kali diperkenalkan dengan Naqsyabandiyah pada akhir abad ke-18, tetapi
kedatangan Khalidiyah yang membuat wilayah itu menjadi daerah Naqsyabandi
semasa hidup Maulana Khalid. Penekanan ganda Khalidiyah di Daghestan adalah
penggantian hukum-kebiasaan (cotumary law) non Islam menjadi syari’at dan
perlawanan terhadap pemerintah Rusia. Pemimpin Naqsyabandiyah pertama untuk
orang Daghestan adalah Ghazi Muhammad, yang meninggal dibunuh oleh orang Rusia
pada 1832, dan penggantinya dua tahun kemudian mengalami nasib yang sama.
Sebaliknya Syamil, yang kemudian mengambil kepemimpinan gerakan itu, mampu
menahan Rusia hingga 159, salah satu perlawanan Muslim terhadap imperialisme
Eropa yang terlama dan terkenal. Pengaruh Naqsyabandiyah di Daghestan ternyata
sulit dicabut; kaum Naqsyabandiyah aktif dalam pemberontakan 1877 oleh
Daghestan dan Chechenia yang berjaya pada rentang waktu antara runtuhnya tsar
Rusia dan pembentukan pemerintahan Soviet.
Wilayah populasi
Muslim lain yang diperintah oleh Rusia yang ternyata menerima Khalidiyah adalah
Volga-Ural (sekarang Tatarstan dan Baskira).
Wakil Maulana
Khalid di Makkah, Abdullah Makki (Erzincani), menerima seorang murid dari
Kazan, Fatsullah Menavusi; namun, yang pengaruhnya terbukti menentukan adalah
pengikut Ghumushaveni asal Basykar, Syekh Zainullah Rasulev dari Troisk. Semula
Rasulev adalah pengikut garis mujaddidiyah yang pergi ke Bukhara, kemudian
mengalihkan kesetiaanya kepada Gumushaveni setelah berkunjung ke Istambul pada
1870. Ketika kembali, dia mempropagandakan Khalidiyah sehingga membangkitkan
permusuhan dari para pesaingnya dan menimbulkan kecurigaan dari pihak berwenang
Rusia; hal ini mengakibatkan Rasulev dipenjara dan diasingkan. Kemudian bebas
lagi pada 1881 dia memperkukuh dan memperkuat pengikutnya sehingga ratusan
murid berada di bawah pengaruhnya; mereka tidak hanya tersebar diwilayah
Volga-Ural, tetapi juga di Kazakhstan dan Siberia. Tatkala kematian tiba pada
1917, dia disebut sebagai “raja spiritual rakyatnya”, dan setelah kematiannya wibawa
Rasulev tetap terus bergaung sampai pada periode Soviet: tiga kepala Direktorat
Spiritual untuk kaum Muslim Rusia Eropa dan Siberia yang berfungsi di bawah
pengawasan Soviet adalah murid-murid Rasulev.
Akhirnya,
Khalidiyah memastikan pula penanaman pengaruh Naqsyabandiyah secara permanen di
dunia Melayu Indonesia. Abdullah Makki mempunyai murid dari Sumatera yaitu
Ismail Minangkabawi. Setelah lama menetap di Makkah, Minangkabawi menetap di
Penyengat wilayah kepulauan Riau. Di sana, ia memperoleh kesetiaan dari
keluarga pemerintahan, yang sudah mulai diperkenalkan pada Naqsyabandiyah oleh
Duta-duta pemerintah yang dikirim dari Madinah oleh Muhammad Mazhhar. Dia juga
pergi ke Melayu hingga Kedah, mempropagandakan Khalidiyah ke mana pun ia pergi.
Namun usahanya merupakan rintisan, dan digantikan oleh kegiatan dua Khalidiyah
yang tinggal di Makkah yaitu Khalil Hamdi Pasya dan Syekh Sulaiman Zuhdi.
Kenyataan bahwa kedua orang ini adalah pesaing, saling menuduh bahwa yang
lainnya adalah menyimpang dari prinsip Naqsyabandiyah, menyiratkan betapa dunia
Melayu Indonesia menjadi sumber pengikut yang kaya untuk Naqsyabandiyah. Dalam
jangka panjang, Sulaiman Zuhdi lebih berhasil dari pada pesaingya, hingga Jabal
Abi Qubais di Makkah, tempat dia tinggal, dipandang sebagai sumber seluruh
Tarekat Naqsyabandiyah di Asia Tenggara. Di antara murid ini banyak yang
mendirikan Khalidiyah di berbagai tempat di Sumatera, Jawa dan Sulawesi, yang
paling penting adalah Abdil Wahab Rokan (w. 1926). Beliau dikirim dari Makkah
pada tahun 1868 dengan misi untuk menyebarkan Khalidiyah di seluruh Sumatera,
dari Aceh sampai Palembang — misi yang beliau dilaksanakan dengan sukses besar
adalah dari pesantrennya di Bab Al-Salam, Lengkat-Tinggal menetap selama tiga
tahun di Johor, dan memungkinkan dia untuk memperluas pengaruhnya lebih jauh ke
Semenanjung Malaya.
Praktik
Naqsyabandiyah di Dunia Melayu Indonesia sejak dini sangat berbeda dengan
adanya ritual yang disebut dengan suluk, yakni menyendiri dengan jangka waktu
yang berbeda-beda dan sebagian diiringi dengan puasa. Asal usul praktik ini
sangat berbeda dengan tradisi Naqsyabandiyah yang tidak diketahui. Putusnya
hubungan dengan Makkah akibat penaklukan Hijaz oleh kaum Wahabiyah makin
menambah ciri khas bagi kaum Naqsyabandiyah di Melayu Indonesia.
c. Peran Politik
Tidak semua
perkembangan formatik yang berkenaan dengan Naqsyabandiyah berkaitan dengan
Ghulam Ali Dihlavi dan keturunannya. Salah satu keturunan dari Ahmad Sirhindi
didirikan di Syur Bazar di pinggiran Kabul pada pertengahan abad ke-19, dan
para anggota cabang ini memainkan peranan penting dalam urusan negara
Afghanistan hingga pembentukan negara pasca Komunis pertama pada tahun 1991. Di
tempat lain di Asia Tengah, Naqsyabandiyah dari berbagai keturunan menonjol
dalam perlawanannya terhapap Rusia dan sesudahnya. Dengan demikian pertahanan
Goktepe oleh para Turkmen Akhel-Tekke diarahkan oleh seorang pengikut
Naqysabandiyah, yaitu Muhammad Ali Ihsan (Dukchi Ikhsan). Naqsyabandiyah juga
memimpin pemberontakan melawan pemerintah Cina di Xinjing pada tahun 1863 dan
1864 dan di Shannxi serta Gunsu antara 1862 dan 1873.
Ciri khas yang
ditunjukan oleh kelompok Naqyabandiyah ini sering digambarkan dalam negara
modern, terutama di Turki. Namun, di Turkli perlawanan Naqsyabandiyah terhadap
sekulerisme selalu bersifat pasif (kecuali pemberontakan Sa’id). Penggambaran
peristiwa Menemen 1931 sebagai konspirasi Naqsyabandiyah yang menyebabkan Syekh
Muhammad As’ad (Mehmed Esad) dihukum mati secara adil, sekarang diragukan.
Sejumlah
pemimpin Naqsyabandiyah menjadi orang penting sebagai guru spiritual dan
intelektual: Mahmud Sami Ramazanoglu (w. 1984), pengganti Syekh Muhammad As’ad.
Mehmed Zahid Kotku (w.1980), keturunan spiritual dari Gumushanevi bersama
penggantinya Esad Gosan (sampai sekarang masih hidup) dan Resit Erol (w. 1994).
Kegiatan mengajar para syekh ini beserta syekh lainnya secara alamiah memiliki
pengaruh politik, namun cenderung mengarah pada pengintegrasian Naqsyabandiyah
ke dalam struktur Republik Turki, dan bukan penolakan terhadap struktur
tersebut. Penting dicatat bahwa beberapa pemimpin Naqsyabandiyah hadir secara
menonjol di pemakaman Presiden Turki, Turgut Ozal pada 1993.
Kaum
Naqsyabandiyah dalam jumlah dan kekuatan intelektualnya, tidak dapat
digambarkan secara seragam dalam Dunia Islam sekarang ini. Pengaruh mereka
mungkin paling kuat di Turki dan wilayah Kurdistan, dan yang paling lemah
adalah di Pakistan. Pada masa pemerintahan Soviet, pengaruh Naqsyabandiyah
sangat terasa pada gerakan “Islam bawah tahan” di Kaukasus Asia Tengah. Namun,
pada akhirnya pemerintahan Soviet tidak diikuti perkembangan Naqsyabandiyah di
permukaan.
d. Berbagai Ritual dan Teknik Spiritual Naqsyabandiyah
Seperti
tarekat-tarekat yang lain, Tarekat Naqsyabandiyah itu pun mempunyai sejumlah
tata-cara peribadatan, teknik spiritual dan ritual tersendiri. Memang dapat
juga dikatakan bahwa Tarekat Naqsyabandiyah terdiri atas ibadah, teknik dan
ritual, sebab demikianlah makna asal dari istilah thariqah, “jalan” atau
“marga”. Hanya saja kemudian istilah itu pun mengacu kepada perkumpulan
orang-orang yang mengamalkan “jalan” tadi.
Naqsyabandiyah,
sebagai tarekat terorganisasi, punya sejarah dalam rentangan masa hampir enam
abad, dan penyebaran yang secara geografis meliputi tiga benua. Maka tidaklah
mengherankan apabila warna dan tata cara Naqsyabandiyah menunjukkan aneka
variasi mengikuti masa dan tempat tumbuhnya. Adaptasi terjadi karena keadaan
memang berubah, dan guru-guru yang berbeda telah memberikan penekanan pada
aspek yang berbeda dari asas yang sama, serta para pembaharu menghapuskan pola
pikir tertentu atau amalan-amalan tertentu dan memperkenalkan sesuatu yang
lain. Dalam membaca pembahasan mengenai berbagai pikiran dasar dan ritual
berikut, hendaknya selalu diingat bahwa dalam pengamalannya sehari-hari variasinya
tidak sedikit.
e. Asas-asas
Penganut
Naqsyabandiyah mengenal sebelas asas Thariqah. Delapan dari asas itu dirumuskan
oleh ‘Abd al-Khaliq Ghuzdawani, sedangkan sisanya adalah penambahan oleh Baha’
al-Din Naqsyaband. Asas-asas ini disebutkan satu per satu dalam banyak risalah,
termasuk dalam dua kitab pegangan utama para penganut Khalidiyah, Jami
al-’Ushul Fi al-’Auliya. Kitab karya Ahmad Dhiya’ al-Din Gumusykhanawi itu
dibawa pulang dari Makkah oleh tidak sedikit jamaah haji Indonesia pada akhir
abad ke-19 dan awal abad ke-20. Kitab yang satu lagi, yaitu Tanwir al-Qulub
oleh Muhammad Amin al-Kurdi dicetak ulang di Singapura dan di Surabaya, dan
masih dipakai secara luas. Uraian dalam karya-karya ini sebagian besar mirip
dengan uraian Taj al-Din Zakarya (”Kakek” spiritual dari Yusuf Makassar)
sebagaimana dikutip Trimingham. Masing-masing asas dikenal dengan namanya dalam
bahasa Parsi (bahasa para Khwajagan dan kebanyakan penganut Naqsyabandiyah
India).
Asas-asasnya ‘Abd al-Khaliq adalah:
1. Hush dar dam: “sadar sewaktu bernafas”. Suatu latihan
konsentrasi: sufi yang bersangkutan haruslah sadar setiap menarik nafas,
menghembuskan nafas, dan ketika berhenti sebentar di antara keduanya. Perhatian
pada nafas dalam keadaan sadar akan Allah, memberikan kekuatan spiritual dan
membawa orang lebih hampir kepada Allah; lupa atau kurang perhatian berarti
kematian spiritual dan membawa orang jauh dari Allah (al-Kurdi).
2. Nazar bar qadam: “menjaga langkah”. Sewaktu berjalan,
sang murid haruslah menjaga langkah-langkahnya, sewaktu duduk memandang lurus
ke depan, demikianlah agar supaya tujuan-tujuan (ruhani)-nya tidak dikacaukan
oleh segala hal di sekelilingnya yang tidak relevan.
3. Safar dar watan: “melakukan perjalanan di tanah
kelahirannya”. Melakukan perjalanan batin, yakni meninggalkan segala bentuk
ketidaksempurnaannya sebagai manusia menuju kesadaran akan hakikatnya sebagai
makhluk yang mulia. [Atau, dengan penafsiran lain: suatu perjalanan fisik,
melintasi sekian negeri, untuk mencari mursyid yang sejati, kepada siapa seseorang
sepenuhnya pasrah dan dialah yang akan menjadi perantaranya dengan Allah (Gumusykhanawi).
4. Khalwat dar anjuman: “sepi di tengah keramaian”.
Berbagai pengarang memberikan bermacam tafsiran, beberapa dekat pada konsep
“innerweltliche Askese” dalam sosiologi agama Max Weber. Khalwat bermakna
menyepinya seorang pertapa, anjuman dapat berarti perkumpulan tertentu.
Beberapa orang mengartikan asas ini sebagai “menyibukkan diri dengan terus
menerus membaca dzikir tanpa memperhatikan hal-hal lainnya bahkan sewaktu
berada di tengah keramaian orang”; yang lain mengartikan sebagai perintah untuk
turut serta secara aktif dalam kehidupan bermasyarakat sementara pada waktu
yang sama hatinya tetap terpaut kepada Allah saja dan selalu wara’.
Keterlibatan banyak kaum Naqsyabandiyah secara aktif dalam politik
dilegitimasikan (dan mungkin dirangsang) dengan mengacu kepada asas ini.
5. Yad kard: “ingat”, “menyebut”. Terus-menerus
mengulangi nama Allah, dzikir tauhid (berisi formula la ilaha illallah), atau
formula dzikir lainnya yang diberikan oleh guru seseorang, dalam hati atau
dengan lisan. Oleh sebab itu, bagi penganut Naqsyabandiyah, dzikir itu tidak
dilakukan sebatas berjamaah ataupun sendirian sehabis shalat, tetapi harus
terus-menerus, agar di dalam hati bersemayam kesadaran akan Allah yang
permanen.
6. Baz gasyt: “kembali”, ” memperbarui”. Demi
mengendalikan hati supaya tidak condong kepada hal-hal yang menyimpang
(melantur), sang murid harus membaca setelah dzikir tauhid atau ketika berhenti
sebentar di antara dua nafas, formula ilahi anta maqsudi wa ridlaka mathlubi
(Ya Tuhanku, Engkaulah tempatku memohon dan keridlaan-Mulah yang kuharapkan).
Sewaktu mengucapkan dzikir, arti dari kalimat ini haruslah senantiasa berada di
hati seseorang, untuk mengarahkan perasaannya yang halus kepada Tuhan semata.
7. Nigah dasyt: “waspada”. Yaitu menjaga pikiran dan
perasaan terus-menerus sewaktu melakukan dzikir tauhid, untuk mencegah agar
pikiran dan perasaan tidak menyimpang dari kesadaran yang tetap akan Tuhan, dan
untuk memlihara pikiran dan perilaku seseorang agar sesuai dengan makna kalimat
tersebut. Al-Kurdi mengutip seorang guru (anonim): “Kujaga hatiku selama
sepuluh hari; kemudian hatiku menjagaku selama dua puluh tahun.”
8. Yad dasyt: “mengingat kembali”. Penglihatan yang
diberkahi: secara langsung menangkap Zat Allah, yang berbeda dari sifat-sifat
dan nama-namanya; mengalami bahwa segalanya berasal dari Allah Yang Esa dan
beraneka ragam ciptaan terus berlanjut ke tak berhingga. Penglihatan ini
ternyata hanya mungkin dalam keadaan jadzbah: itulah derajat ruhani tertinggi
yang bisa dicapai.
Asas-asas Tambahan dari Baha al-Din Naqsyabandi:
1.
Wuquf-i
zamani: “memeriksa penggunaan waktu seseorang”. Mengamati secara teratur
bagaimana seseorang menghabiskan waktunya. (Al-Kurdi menyarankan agar ini
dikerjakan setiap dua atau tiga jam). Jika seseorang secara terus-menerus sadar
dan tenggelam dalam dzikir, dan melakukan perbuatan terpuji, hendaklah
berterimakasih kepada Allah, jika seseorang tidak ada perhatian atau lupa atau
melakukan perbuatan berdosa, hendaklah ia meminta ampun kepada-Nya.
2.
Wuquf-i
‘adadi: “memeriksa hitungan dzikir seseorang”. Dengan hati-hati beberapa kali
seseorang mengulangi kalimat dzikir (tanpa pikirannya mengembara ke mana-mana).
Dzikir itu diucapkan dalam jumlah hitungan ganjil yang telah ditetapkan
sebelumnya.
3.
Wuquf-I
qalbi: “menjaga hati tetap terkontrol”. Dengan membayangkan hati seseorang
(yang di dalamnya secara batin dzikir ditempatkan) berada di hadirat Allah,
maka hati itu tidak sadar akan yang lain kecuali Allah, dan dengan demikian
perhatian seseorang secara sempurna selaras dengan dzikir dan maknanya. Taj
al-Din menganjurkan untuk membayangkan gambar hati dengan nama Allah terukir di
atasnya.
f.
Zikir
dan Wirid
Teknik dasar
Naqsyabandiyah, seperti kebanyakan tarekat lainnya, adalah dzikir yaitu
berulang-ulang menyebut nama Tuhan ataupun menyatakan kalimat la ilaha
illallah. Tujuan latihan itu ialah untuk mencapai kesadaran akan Tuhan yang
lebih langsung dan permanen. Pertama sekali, Tarekat Naqsyabandiyah membedakan
dirinya dengan aliran lain dalam hal dzikir yang lazimnya adalah dzikir diam
(khafi, “tersembunyi”, atau qalbi, ” dalam hati”), sebagai lawan dari dzikir
keras (dhahri) yang lebih disukai tarekat-tarekat lain. Kedua, jumlah hitungan
dzikir yang mesti diamalkan lebih banyak pada Tarekat Naqsyabandiyah daripada
kebanyakan tarekat lain.
Dzikir dapat
dilakukan baik secara berjamaah maupun sendiri-sendiri. Banyak penganut
Naqsyabandiyah lebih sering melakukan dzikir secara sendiri-sendiri, tetapi
mereka yang tinggal dekat seseorang syekh cenderung ikut serta secara teratur
dalam pertemuan-pertemuan di mana dilakukan dzikir berjamaah. Di banyak tempat
pertemuan semacam itu dilakukan dua kali seminggu, pada malam Jum’at dan malam
Selasa; di tempat lain dilaksanakan tengah hari sekali seminggu atau dalam
selang waktu yang lebih lama lagi.
Dua dzikir dasar
Naqsyabandiyah, keduanya biasanya diamalkan pada pertemuan yang sama, adalah
dzikir ism al-dzat, “mengingat yang Haqiqi” dan dzikir tauhid, ” mengingat keesaan”.
Yang duluan terdiri dari pengucapan asma Allah berulang-ulang dalam hati,
ribuan kali (dihitung dengan tasbih), sambil memusatkan perhatian kepada Tuhan
semata. Dzikir Tauhid (juga dzikir tahlil atau dzikir nafty wa itsbat) terdiri
atas bacaan perlahan disertai dengan pengaturan nafas, kalimat la ilaha illa
llah, yang dibayangkan seperti menggambar jalan (garis) melalui tubuh. Bunyi la
permulaan digambar dari daerah pusar terus ke hati sampai ke ubun-ubun. Bunyi
Ilaha turun ke kanan dan berhenti pada ujung bahu kanan. Di situ, kata
berikutnya, illa dimulai dengan turun melewati bidang dada, sampai ke jantung,
dan ke arah jantung inilah kata Allah di hujamkan dengan sekuat tenaga. Orang
membayangkan jantung itu mendenyutkan nama Allah dan membara, memusnahkan
segala kotoran.
Variasi lain
yang diamalkan oleh para pengikut Naqsyabandiyah yang lebih tinggi tingkatannya
adalah dzikir latha’if. Dengan dzikir ini, orang memusatkan kesadarannya (dan
membayangkan nama Allah itu bergetar dan memancarkan panas) berturut-turut pada
tujuh titik halus pada tubuh. Titik-titik ini, lathifah (jamak latha’if),
adalah qalb (hati), terletak selebar dua jari di bawah puting susu kiri; ruh
(jiwa), selebar dua jari di atas susu kanan; sirr (nurani terdalam), selebar
dua jari di atas putting susu kanan; khafi (kedalaman tersembunyi), dua jari di
atas puting susu kanan; akhfa (kedalaman paling tersembunyi), di tengah dada;
dan nafs nathiqah (akal budi), di otak belahan pertama. Lathifah ketujuh, kull
jasad sebetulnya tidak merupakan titik tetapi luasnya meliputi seluruh tubuh.
Bila seseorang telah mencapai tingkat dzikir yang sesuai dengan lathifah
terakhir ini, seluruh tubuh akan bergetar dalam nama Tuhan. Konsep latha’if dibedakan
dari teknik dzikir yang didasarkan padanya bukanlah khas Naqsyabandiyah saja
tetapi terdapat pada berbagai sistem psikologi mistik. Jumlah latha’if dan
nama-namanya bisa berbeda; kebanyakan titik-titik itu disusun berdasarkan
kehalusannya dan kaitannya dengan pengembangan spiritual.
Ternyata latha’if pun
persis serupa dengan cakra dalam teori yoga. Memang, titik-titik itu letaknya
berbeda pada tubuh, tetapi peranan dalam psikologi dan teknik meditasi
seluruhnya sama saja.
Asal-usul ketiga macam
dzikir ini sukar untuk ditentukan; dua yang pertama seluruhnya sesuai dengan
asas-asas yang diletakkan oleh ‘Abd Al-Khaliq Al-Ghujdawani, dan muntik sudah
diamalkan sejak pada zamannya, atau bahkan lebih awal. Pengenalan dzikir
latha’if umumnya dalam kepustakaan Naqsyabandiyah dihubungkan dengan nama Ahmad
Sirhindi. Kelihatannya sudah digunakan dalam Tarekat Kubrawiyah sebelumnya;
jika ini benar, maka penganut Naqsyabandiyah di Asia Tengah sebetulnya sudah
mengenal teknik tersebut sebelum dilegitimasikan oleh Ahmad Sirhindi.
Pembacaan tidaklah berhenti pada dzikir; pembacaan
aurad (Indonesia: wirid), meskipun tidak wajib, sangatlah dianjurkan. Aurad
merupakan doa-doa pendek atau formula-formula untuk memuja Tuhan dan atau
memuji Nabi Muhammad, dan membacanya dalam hitungan sekian kali pada jam-jam
yang sudah ditentukan dipercayai akan memperoleh keajaiban, atau paling tidak
secara psikologis akan mendatangkan manfaat. Seorang murid dapat saja diberikan
wirid khusus untuk dirinya sendiri oleh syekhnya, untuk diamalkan secara
rahasia (diam-diam) dan tidak boleh diberitahukan kepada orang lain; atau
seseorang dapat memakai kumpulan aurad yang sudah diterbitkan. Naqsyabandiyah
tidak mempunyai kumpulan aurad yang unik. Kumpulan-kumpulan yang dibuat
kalangan lain bebas saja dipakai; dan kaum Naqsyabandiyah di tempat yang lain
dan pada masa yang berbeda memakai aurad yang berbeda-beda. Penganut
Naqsyabandiyah di Turki, umpamanya, sering memakai Al-Aurad Al-Fathiyyah,
dihimpun oleh Ali Hamadani, seorang sufi yang tidak memiliki persamaan sama
sekali dengan kaum Naqsyabandiyah.